Rabu, 18 Mei 2011

Kiayi Haji Abdul Halim

Abdul Halim dilahirkan di desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, 4 Syawal 1304 H./26 Juni 1887 M. Ia adalah seorang kiai, haji, ulama, pendidik, organisatoris, pejuang kemerdekaan, anggota Konstituante, dan masih banyak lagi. Namanya sebelum naik haji adalah Otong Syatori, ayahnya bernama K.H. Muhammad Iskandar, seorang penghulu Kawedanan Jatiwangi dan ibunya bernama Hj. Siti Mutmainnah binti Imam Safari. Abdul Halim adalah anak terakhir dari delapan orang bersaudara. Ia menikah dengan Siti Murbiyah, putri K.H. Muhammad Ilyas.

Sejak kecil, ia telah belajar agama pada ayahnya. Pada usia 10 tahun, ia sudah belajar membaca al-Qur’an. Kemudian, ia pindah-pindah ke berbagai pesantren seperti lazimnya pada masa itu, hingga usia 22 tahun. Di setiap pesantren, ia belajar di sana satu sampai tiga tahun. Mula-mula di Pesantren Ranji Wetan, Majalengka, pimpinan K.H. Anwar; kemudian Pesantren Lontangjaya, Leuwinunding pimpinan K.H. Abdullah; Pesantren Bobos, Sumber, Cirebon, pimpinan K.H. Sujak (Sudjak); Pesantren Ciwedus, Cilimus, Kuningan pimpinan K.H. Ahmad Sobari; Pesantren Kedungwuni, Pekalongan pimpinan K.H. Agus, dan akhirnya kembali ke Pesantren Ciwedus.

Di sela-sela kehidupaannya di pesantren, Abdul Halim menyempatkan dirinya berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama. pengalaman dagang ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam upaya pemberbarui sistem ekonomi masyarakat pribumi.

Pada usia 22 tahun, ia berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji sambil memperdalam ilmu agama, antara lain pada Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Ahmad Khayyat. Meski pun selama tiga tahun bermukim di sana, ia juga membaca tulisan-tulisan Jamaluddin Al-Afghani dan muridnya, Syaikh Muhammad Abduh, yang besar pengaruhnya terhadap murid-murid dari Indonesia seperti K.H. A. Dahlan, Agus Salim dll. yang kemudian menjadi pembaru di tanah air, namun Halim tampaknya tidak terpengaruh. Ia tetap sebagai ahlussunnah wal jama’ah dan berpegang pada madzhab Syafi’I dalam hal fikih.

Selama 3 tahun bermukim di Mekah, Halim pun menjalin persahabatan dengan K.H. Mas Mansur (kelak tokoh Muhammadiyah) dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah (kelak tokoh Nahdlatul Ulama). Sampai akhir hayatnya, Halim selalu memperlihatkan sikap menjaga silaturrahmi dan menghindarkan pertengkaran.

Waktu kembali ke tanah air, pada tahun 1328 H./1911 M., Halim menolak tawaran mertuanya, K.H. Muhammad Ilyas, Penghulu Besar (Hoofd Penghoeloe Landraad) Kabupaten Majalengka, untuk menjadi pejabat di lingkungan priyayi. Halim yang merasa bukan berasal dari lingkungan priyayi, hendak membuktikan bahwa dengan tidak menjadi priyayi orang bisa berbakti kepada masyarakat. Tidak mustahil, sikap ini dipengaruhi gurunya, Syaikh Ahmad Khatib, yang juga tidak mau bekerja dalam sistem kolonial dan memilih terus mukim di Mekah.

Sifat ini, sudah terlihat waktu di pesantren. Karena sejak masih belajar di pesantren, Halim sudah biasa mandiri dengan berjualan macam-macam barang keperluan sehari-hari dan selama di Mekah ia sempat belajar bahasa Cina dari orang Cina Muslim, maka ia pun mulai melaksanakan cita-citanya untuk memperbaiki nasib umat Islam. Yang dipilihnya adalah bidang pendidikan, mula-mula dalam bidang agama. Selain bahasa Arab dan Cina, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres).

Dengan berbekal semangat juang dan tekat yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai pengamatan dan hasil konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah).

Dalam merealisasikan cita-citanya, untuk pertamakalinya Abdul Halim mendirikan Majelis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yangg terbuat dari bambu. Pada majelis ini ia memberikan pengetahuan agama kepada para sntrinya. Kemudia dengan bantuan mertuanya, ia dapat mendirikan bangunan sederhana yang dijadikan sebagai kelas untuk mengajar, dilengkapi dengan asrama untuk tempat tinggal para santri. Meski pun ia sendiri belajar lama di pesantren secara halaqah, namun sebagai pengaruh apa yang dilihatnya sedang berkembang di Mekah, maka ia mempergunakan sistem kelas. Meski pun pada awalnya, sistem ini kurang mendapat sambutan dari masyarakat, namun dengan kian mundurnya pesantren-pesantren lama, akhirnya dapat juga diterima masyarakat.

Setahun kemudian (1912), Halim melembagakan usahanya itu dalam bentuk organisasi yang dinamakan “Hayatul Qulub.” Anggota organisasi ini terdiri dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari para tokoh masyarakat, santri, pedagang, dan petani yang diajaknya berpartisipasi dalam usaha memperbaiki masyarakat dengan jalan membayar iuran masuk sepuluh sen dan iuran mingguan lima sen. Dengan demikian diharapkan akan terkumpul cukup modal untuk membuka perusahaan tenun, di samping untuk menolong para anggota yang dalam bidang perdagangan sering harus bersaing dengan pedagang Cina.

Halim sendiri untuk nafkahnya sehari-hari bergerak dalam bidang perdagangan. Halim menyusun langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan Islah as-Samaniyah, sebagai berikut: islah al-aqidah (perbaikan aqidah), islah al-ibadah (perbaikan ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan pendidikan), islah al-a’ilah (perbaikan keluarga), islah al-addah (perbaikan kebiasaan), islah al-mujtama’ (perbaikan masyarakat), islah al-Iqtishad (perbaikan perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan hubungan ummat serta tolong-menolong). Semuanya dilaksanakan secara simultan walau pun selangkah demi selangkah.

Tetapi dalam bidang perekonomian, persaingan dengan orang-orang Cina sering sampai menimbulkan pertikaian. Meski pun tidak sampai menjadi perkelahian, tapi karena seringnya terjadi pertengkaran. Dan juga melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapai Abdul Halim, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam, mereka mengutus polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingen Dienst/PID) untuk mengawasi gerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Akhirnya pada tahun 1915, pemerintah kolonial membubarkan “Hayatul Qulub.” Sebab dinilai bahwa organisasi ini sebagai dalang atau penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Namun, meski pun organisasi ini bubar, kegiatannya diteruskan juga.

Untuk bidang pendidikan, pada tahun 1916, Halim membentuk “Jam’iyyah I’anah al-Muta’allimin,” yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Al-Irsyad dan Jami’at al-Khair (Jakarta). Sekolah ini mendapat sambutan yang baik. atas bantuan H.O.S. Tjokroaminoto, Ketua Syarikat Islam, “Jam’iyah ‘Ianah al-Muta’allimin” diakui secara hukum oleh pemerintah dengan nama baru “Persyarikatan Ulama” (1917). Persyarikatan Ulama berhasil mendirikan madrasah-madrasah, bahkan juga Sekolah Guru (HIK) dan cabang-cabang, terutama di wilayah karisidenan Cirebon.

Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan atau dana, pada tahun 1927, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha. Akhir tahun 1929, Persyarikatan Ulama membeli percetakan bekas yang digunakan untuk menerbitkan majalah Suara Persyarikatan Ulama yang mula-mula terbit sekali sebulan, tapi kemudian duakali sebulan, di samping dipergunakan untuk menerbitkan buku-buku. Majalah Suara Persyarikatan Ulama sendiri tak dapat bertahan terus, dan sampai tahun 1941, organisasi itu menerbitkan Majalah Suara Islam, As-Syuro, Pengetahuan Islam, Miftahus-Saadah yang berbahasa Sunda, Berita Prsyarikatan Ulama, Al-Mua’alim, Pemuda, Penunjuk Jalan Kebenaran (Hak), silih berganti.

Pada bulan April tahun 1932, Abdul Halim mengemukakan gagasan untuk membentuk sekolah yang di samping diisi dengan kurikulum yang sudah disepakati, ditampah pula dengan latihan keterampilan dan pertanian, pekerjaan tangan (besi, kayu), menenun, dll. Mereka harus tinggal dalam asrama, dan kalau nanti tamat, diharapkan dapat mandiri.

Gagasan itu diterima oleh Kongres Persyarikatan Ulama dan dilaksanakan pada tahun itu juga, karen ada orang yang menyediakan tanah untuk keperluan tersebut, dengan lokasi 10 kilometer di luar kota Majalengka, di kaki Gunung Ciremai, yaitu tepatnya di blok Reumadeungkeung, Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, memang cocok dengan keinginan Halim yang menghendaki sekolah itu harus jauh dari hiruk-pikuk kota. sekolah itu diberi nama Santi Asrama (Santi Asromo), dan sampai menjelang kedatangan balatentara jepang, Santi Asromo berhasil mendidik ratusan pemuda.

Nama santi asromo diambil dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang artinya tempat yang sunyi, dan damai. Pesantren ini merupakan tindaklanjut dari Hasil Kongres Persyarikatan Ulama di Majalengka yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan –Abdul Halim– terhadap hasil pendidikan pesantren pada masa itu. Di samping itu, pendirian pesantren ini pun didorong oleh kenyataan banyaknya orang pribumi yang sulit mengecap pendidikan di sekolah-sekolah. Pesantren Santi Asromo termasuk pembaru kurikulum pesantren, karena sejak didirikan, telah meninggalkan sistem pendidikan tradisional yang khusus memberikan pelajaran agama.

Pada mulanya, berdirinya pesantren ini dicurigai, baik oleh masyarakat Pasirayu atau pun oleh pemerintah kolonial. Masyarakat curiga karena pesantren ini didirikan di tengah hutan serta sistem pendidikannya berbeda dengan pesantren lain. Sedangkan pemerintah kolonial mencurigai Santi Asromo digunakan sebagai tempat menyusun kekuatan untuk mengadakan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Oleh karena itulah pemerintah Belanda menyebarkan mata-mata yaitu PID (polisi rahasia) untuk mengawasi kegiatan di Santi Asromo. Keadaan Santi Asromo yang memiliki reputasi serta mendapat tempat dalam pandangan masyarakat, akhirnya kecurigaan-kecuriggan itu semua sirna.  

Meski pun sejak tahun 1924, Persyarikatan Ulama mendapat pengakuan untuk meluaskan daerah sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan sejak tahun 1937 ke seluruh Indonesia, dan meski pun ada cabang-cabang di di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan, namun basisnya terutama di wilayah Kabupaten Majalengka dan Karisidenan Cirebon. Tetapi Halim sendiri diterima secara nasional dan sering menjalankan peranan di tingkat nasional.

Pada tahun 1928, bersama-sama dengan K.H. M. Anwaruddin (Rembang) dan K.H. Abdullah Siradj (Yogyakarta), ia diangkat sebagai anggota pengurus Majelis Ulama yang didirikan oleh Syarikat Islam. Tahun 1937 ketika Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) didirikan di Surabaya, ia juga terpilih sebagai anggota pengurus. Ketika MIAI pada tahun 1943 diubah menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), ia tetap duduk dalam kepengurusannya.

Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat sebagai anggota Giinchuoo Sangi in di Jakarta dan kemudian juga sebagai anggota Dokuritsu Zyunbi Choosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang antara lain bertugas menyusun konsep Undang-Undang Dasar. Pada masa Jepang itu (1942-1945), Persyarikatan Ulama diubah menjadi Perikatan Umat Islam. dan setelah Proklamasi Kemerdekaan,, ia diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang berfungsi sebagai parlemen. Dalam Pemilihan Konstituante (1955), Halim terpilih sebagai anggota Fraksi Partai Masyumi.

Kemudian sebelum itu, pada tahun 1940, ia bersama K.H. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Fijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda. 

Pada tahun 1952, Perikatan Ummat Islam berfusi dengan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pimpinan K.H. Ahmad Sanusi yang berbasis di Sukabumi, kemudian menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) dengan kedudukan di Bandung. Di kalangan kawan-kawannya, ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan. Abdul Halim meninggal dunia di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, tahun 1381 H./1962 M.

Mengenai pemikiran dan karyanya; Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu agresi Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;
1.    Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2.    Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3.  Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
4.    Da’watul Amal
5.    Tarikh Islam
6.    Neraca Hidup
7.    Risalah
8.    Ijtimaiyah Wailajuha
9.    Kitab Tafsir Tabarok
10.  Kitab 262 Hadits Indonesia
11.  Babul Rizqi, dll.

Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih tersisa tinggal 3 yaitu
1.    Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia
2.    Ekonomi dan Koperasi dalam Islam
3.   Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).

Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan di situ, ia menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits. Ia juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan Ulama.

Di dalam tulisa-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meski pun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya.

Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsepp al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam.

Berdasarkan pengertian ini, Abdul Halim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitanhnya dengan keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama (Abdul Halim: 1938). Makanya, menurut Abdul Halim antara ke dua macam kehidupan tersebut, terhadap hubungan kausalitas (timbal-balik).

Selanjutnya, pemikiran-pemikiran ini, membawa Abdul Halim kepada 3 kesimpulan, yang kemudian diterapkan dalam kehidupannya. Baik mengenai konsep keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan.
1.    Konsep al-Salam
2.    Konsep Santi Asromo
3.    Konsep Santri Lucu (santri yang terampil)
(dari berbagai sumber)
sumber : http://www.pondokpesantren.net/

0 komentar:

Posting Komentar